(Cerpen) Akibat Menelan Informasi Mentah-mentah

(Cerpen) Akibat Menelan Informasi Mentah-mentah

Oleh: Azam Whell Cilik

Seusai subuh, Ibu-ibu rumah tangga sudah disibukkan aktivitas rutinan pagi hari. Ada yang nyuci baju, menyapu halaman rumah, serta ada yang sudah mengantre beli sarapan. Meski wajah masih jekethetan dan bau badan masih beraroma semi-apeg. Sedangkan bapak-bapak disibukkan dengan ngemong anak, ada yang asyik menikmati kopi dengan cangkrukan. Begitulah wajah pagi di sebuah pedesaan. Keromantisan orang desa menikmati aroma udara pagi dengan guyub rukun dan ceria bersama.

Seperti hari-hari sebelumnya, seperti biasa, dalam menikmati antrean saat beli sarapan, rasan-rasan dan gosip model judul apapun tersedia dalam arena antrean ibu-ibu. Mulai dari si A sampai si Z tak ada yang luput dari santapan mulut manisnya ibu-ibu kalau sedang kumpul. Namun, pagi itu, bahasannya agak sangat serius, soalnya isu lokal yang dibahas. Isu Kang Madari mau terbang. Kang Madari adalah pemuda desa yang dikenal sedikit nyeleneh di kampungnya.

Berkat bibir manisnya ibu-ibu, kabar Kang Madari mau terbang menyebar kemana-mana. Menjadi kabar trending di kampungnya, bahkan sampai desa tetangga. Pesan broadcast juga turut menyebar di berbagai WAG. Dan tidak mungkin tidak, kabar itu membuat pro dan kontra, bikin kegaduhan. Sebab ramai dibincangkan, kabar tersebut sampai ke telinga ke Pak Kyai (belum haji) Mahmud, tokoh Agama termasyhur di desanya.

Sebab tak percaya dan takut kalau itu ternyata hoax, Kyai (belum haji) Mahmud memastikan dan menanyakan langsung ke Kang Madari. Lantas dengan santainya Kang Madari mengiyakan kabar itu.
“Iya betul Pak Kyai. Besok hari Jum’at jam 9 pagi di Masjid al Falah.” Dengan santainya Kang Madari memberitahu Kyai (belum haji) Mahmud.

Kyai (belum haji) Mahmud masih tak percaya atas jawaban Kang Madari. Dikira stres, gila. Batinnya, mana bisa manusia terbang. Apalagi seorang Kang Madari yang terkenal nyeleneh. Kyai Mahmud hanya merespon, “Oke. Aku akan menyaksikan besok Jum’at. Kalau kamu bohong, membuat masyarakat resah. Awas!!”

Mendengar Kyai Mahmud sedikit mengultimatum, Kang Madari hanya cekikikan. Merasa suasana sudah tidak nyaman melihat Kang Madari yang cekikikan tidak jelas begitu, Kyai (belum haji) Mahmud pamit pulang. Kang Madari masih cekikikan.

Hari yang dinanti-nanti masyarakat, hari Jum’at telah tiba. Pagi itu, seusai jamaah subuh, suasana tidak seperti hari-hari biasanya. Para jamaah banyak yang berkumpul di emperan masjid membahas isu hangat, Kang Madari mau terbang. Di kampung-kampung pun semakin ramai dalam perbincangan. Tak ketinggalan di warung sarapannya Mbak Marmi, ibu-ibu yang mengantre beli sarapan semakin bergairah membahas isu Kang Madari mau terbang. Mereka ada yang penasaran, ada pula yang nyinyir. Salah satunya adalah Mbak Tarmi. “Masak orang terbang? Ah, mau cari sensasi atau mau mati konyol? Dasar Kang Madari sudah tidak waras.”

Kicauan burung-burung pun bersahutan bak ikutan membahas isu Kang Madari mau terbang. Pukul 8 pagi, halaman masjid yang telah ditentukan mulai terlihat banyak orang yang ingin menyaksikan. Banyak yang sudah tidak sabar menyaksikan atraksi Kang Madari. Turut serta bakul cuplis, bakso, sosis, es teh, sampai bakul mainan anak-anak meramaikan. Batinnya, mumpung ada kesempatan buat “mremo” dalam event tersebut.

Waktu yang ditentukan pun tiba. Sudah terlihat Kang Madari bersiap dengan santainya. Pun dengan Pak Kyai (belum haji) Mahmud yang sudah hadir. Halaman Masjid pun sudah terisi banyak orang-orang yang ingin menyaksikan. Ramai betul. Sebab, hari Jum’at adalah hari libur kerja sebagian besar orang di desa tersebut.

Kang Madari berjalan dengan santai menuju bangunan paling atas Masjid, berdiri tepat di sebelah kubah. Orang-orang yang menyaksikan mulai mlongo, semua mata terpana sama Kang Madari semata. Tak luput juga sama Mbak Lilis, ia fokus sama Kang Madari, mengabaikan anaknya yang sedang nangis minta jajan cuplis. Pun dengan Mbak Sundari yang tak sadar bahwa ia dengan santainya meneteki anaknya di tempat umum dengan vulgar, ia tak sadar kalau dilihat orang lain, sebab kesadarannya tertuju seorang Kang Madari belaka. Suasana hening, tegang.

Kang Madari mulai merentangkan kedua tangannya. Ia mulai mengibas-ibaskan kedua tangannya seperti burung terbang. Suasana semakin tegang. Jantung yang hadir menyaksikan semakin berdegup kencang. Sebab tak sabar melihat Kang Madari tak kunjung terbang, Mbak Tarmi bersorak kencang layaknya Mahasiswa beragitasi dalam aksi, “Woy, Kang Madari cepetan. Katanya terbang? Kok gak terbang-terbang. Apa ini cuma nyari sensasi biar terkenal?”

Merasa terganggu dengan suara kerasnya Mbak Tarmi, Mbak Jum yang kebetulan berada di sampingnya berseloroh ke Mbak Tarmi, “Heh, diam. Berisik. Dilihat aja dulu dengan tenang.”

Disaat suasana semakin hening, sebab orang-orang yang menyaksikan jantungnya semakin berdegup kencang, tapi Kang Madari malah dengan santainya berjalan turun ke bawah. Ia menghampiri Kyai (belum haji) Mahmud.

Orang-orang saling tolah-toleh, semua dihampiri rasa kekecewaan. Kesal sama Kang Madari. Salah satunya adalah Mbak Tarmi. Ia lagi-lagi nyinyir dengan nada berapi-api, “Ah, Kang Madari sudah membohongi umat. Gak waras. Cuma cari sensasi biar terkenal di kampung.” Dan sontak disahut banyak orang dengan kompak, “Whuuu..”

Dengan santainya Kang Madari merespon, “Apakah kalian melihat kalau aku tadi mau terbang?”
“Iya melihat. Kamu mengibaskan kedua tanganmu seperti burung terbang. Seolah kamu mau terbang, Kang.”

“Kan aku bilangnya mau terbang. Sudah kukibaskan tanganku layaknya mau terbang. Aku tidak bilang bisa terbang. Dan apakah diriku berbohong, cuma nyari sensasi seperti apa yang dikatakan Mbak Tarmi tadi?” Kang Madari kembali bertanya kepada orang-orang yang menyaksikan.

Mendengar jawaban dan pertanyaan Kang Madari, orang-orang membisu semua, hanya bisa menggelengkan kepala. Kang Madari melanjutkan omongannya, “Makanya, kalau mendengar informasi itu jangan langsung ditelan mentah-mentah. Disaring, dipahami dulu informasinya. Jangan terburu-buru, gegabah menangkap suatu informasi.”

Orang-orang yang menyaksikan pada membubarkan diri, meninggalkan halaman Masjid. Pulang ke rumah masing-masing. Terlihat Pak Kyai (belum haji) Mahmud cuma bisa mengernyitkan dahinya. Lantas ikut membubarkan diri juga. Sedangkan Kang Madari cekikikan.

(Cerita diinspirasi dari Kisah Abu Nawas Hampir digantung).