on
artikel
- Get link
- X
- Other Apps
“Cara mensyukuri nikmat hidup di Indonesia salahsatunya adalah menjaga NU. Dengan menjaga dan melestarikan NU, otomatis menjaga dan melestarikan Indonesia.” Begitulah potongan kalimat dari Pemateri PKD Ansor di PAC Wedung.
Kalimat tersebut mengingatkan nasihat Ibuk pada waktu lampau. Beliau menyarankan agar diriku bergabung di Ansor. Namun, waktu itu aku belum mengiyakan saran Ibuk sebab ada sebuah alasan. Yaps betul, gamau ngurangi waktu bermain. Ibuk terdiam, tidak memaksa. Mungkin karena memahami.
Tahun sudah berganti, Ibuk masih kekeuh dengan apa yang dulu tuturkan. Namun, kali ini ada yang berbeda. Sedikit ada penegasan. Pikirku, “Hih.”
Ibuk tak pedulikan mimik cemberutku. Beliau mengatakan, “Kalau yang lain statement nya didoakan jadi santrinya Mbah Hasyim, nek ini tak doakan semoga diakui jadi santrinya Mbah Wahab. Keren, toh?”
Seketika bulu kuduk berdiri. Merinding. Bagaimana tidak merinding didoakan orang yang pernah nyantri semasa Aliyahnya di Tambakberas, pesantren yang pendirinya juga salah satu pendiri NU? Dan yang mendoakan adalah Ibukku sendiri. Mustahil untuk tidak sam’an wa tha’atan. Siap. Kalau sudah gini, apa sih yang dicari di dunia ini selain ridha orangtua?
Masuklah di Ansor tingkat ranting. Jamiyah atau kegiatan lainnya yang dilaksanakan di luar jam kerja, dengan semangat mengikutinya. Termasuk acara PKD yang diselenggarakan Jum’at sampai Sabtu kemarin.
Keikutsertaan 2 Paklik semakin menambah motivasiku untuk mengikuti PKD. Jiwa mudaku akan kalah dengan adik ibukku, orang yang sudah memiliki masing-masing 3 anak jika diriku absen, tidak ikut PKD. Jiwa muda gamau kalah. Haha
Materi demi materi kuikuti dengan khidmat. Pena dan buku selalu di depan. Kadang ngantuk, sih. Haha.
Diribadan merasakan getaran, merinding, saat Panitia dan Pemateri mengenalkan dan memberikan apresiasi tinggi kepada salah satu peserta PKD. Apresiasi kepada peserta yang memiliki kekurangan fisik, disabilitas, namun semangat mengikuti PKD. Air mata tak bisa dibendung saat mendengar dan melihat peserta tersebut dituntut maju di depan dan diberikan penghargaan.
Selain itu, diribadan sering merasakan ada getaran hati disetiap lagu “hubbul wathan” dikumandangkan. Dalam hati kuberdoa, “Inilah Indonesia. Negara yang merdeka dengan perjuangan para muassis NU dan Nahdliyin yang ikut andil di dalamnya. Merdeka yang penuh tirakat oleh Ulama-ulama NU. Berkahi Negara ini Ya Allah. Berkahi diribadan ini yang hidup di pijakan bumi Nusantara yang sudah merdeka berkat jasa Ulama-ulama.
Lantas, bagaimana dengan Mars Ansor, Banser? Gak merasakan getaran? Ah, ya merasakan sih. Etapi, beda permasalahan. Masalahnya, diribadan tidak hapal lengkap liriknya. Cuma pas lirik “Allahu Akbar.. Allahu Akbar” bisa lantang, seterusnya diam. Begitu juga dengan lirik Mars Banser, pas lirik “singkirkan dia dia dia” tok yang lantang, seterusnya diam. Haha. Hih, ngeselin. Sahabat-sahabat yang lain lantang, semangat menyanyikan, diribadan ini cuma terdiam. Isin. Tapi, bersyukur banget aib ini masih ketutup masker. Haha.
Acara PKD dipungkasi dengan prosesi pembaiatan. Kembali merasakan getaran yang cukup lama dalam seremoni yang dihelat di area makam kramat, maqbarah Mbah Santri. Begitu lama merasakannya saat duduk membacakan tahlil. Tiba-tiba air mata menetes begitu saja. Tak tahu kenapa. Pikirku, mungkin karena acara yang sakral dihelat di makam Ulama yang penuh berkah. Aku cuma terdiam. Cukup lama. Sampai di penghujung acara pembaiatan masih terdiam. Namun, kali ini alasannya berbeda, diribadan terdiam di penghujung prosesi pembaiatan gara-gara perut sakit banget, mules. Etapi, ga mengurangi rasa semangat dan khidmat di seremoni kok.