(CERPEN) AMPLOP KASIH SAYANG

Kurang 3 hari lagi Pilkada digelar. Artinya, tahapan sudah memasuki masa tenang. Pada masa tenang, aktivitas berkampanye sudah dilarang semua. Dalam bentuk apapun. Pagi itu, suasana memang benar-benar tenang. Bukan sebab sudah berhentinya masa kampanye. Bukan. Hujan yang sedari malam belum juga reda lah yang membuat suasana jadi sunyi, tenang. Suara kokok Ayam jago nir sama sekali. Mungkin ayam-ayam pada ndekekes, kedinginan. Dan juga orang-orang masih terlelap tidur, atau sekedar hanya menikmati ngekep guling, yang memang hari itu pas weekend. Jadi, berat rasanya untuk beranjak dari tempat tidur.

Apalagi hujan berkolaborasi sama angin yang begitu kencang. Membuat orang-orang menikmati jadi kaum rebahan secara kaffah. Angin kencang berhembus memeluk mesra pepohonan. Suara koyakan baja ringan tua yang sebagai atap warung Mbok Siti terdengar begitu kencang. Pantas saja, orang-orang nihil aktivitas di luar rumah, kecuali mereka yang nekat mencari nafkah di akhir pekan. Warung Mbok Siti yang biasanya ramai ibu-ibu ngantre beli sarapan, kini terlihat sepi. Hanya ada abang ojek online yang beli makanan pesanan. Terlihat juga ada Kang Badrun dan Kang Mukiyi yang sedang asyik ngobrol sambil menikmati kopi hitamnya.

“Hujan dan angin kenceng gini, untung banget ya baliho Paslon Bupati kita sudah di turunkan semua.” Kata Kang Mukiyi.

“Kok bisa untung, Kang? Kan memang sudah waktunya masa tenang. Jadi harus dibersihkan semua Alat Peraga Kampanye nya. Gitu. Tadi hujan-hujan sudah dilepasi semua sama Kang Tejo.” Kang Badrun menimpali. Kang Tejo yang disebut oleh Kang Badrun adalah seorang Pengawas Desa.

“Bukan gitu maksudnya, Kang. Kan lumayan nanti bambunya bisa diambil, dimanfaatkan buat kandang ayam, toh.” Celetuk Kang Mukiyi.

Kang Badrun terbahak mendengar celetukan Kang Mukiyi. Abang ojek online geleng-geleng mendengar obrolan mereka berdua. Sementara Kang Mukiyi tetap asyik menikmati hisapan kreteknya. Kepulan asapnya sesekali dibuat mblunder olehnya.

Mereka berdua sangat asyik dengan obrolan. Tak peduli dengan suara hujan yang kian kencang, hembusan angin yang kian menusuk pori-pori. Dingin. Daun-daun mulai berguguran tersapu oleh angin. Namun bagi mereka berdua, tak mengurangi asyiknya cangkrukan. Mereka berdua mengobrolkan apa saja. Sembarang kalir. Mulai dari gosip tetangga, bahas pekerjaan, sampai calon yang maju pada bursa Pilkada kali ini.

“Assalamualaikum, Kang.” Salam Kang Saseri memotong obrolan mereka berdua. Ternyata Kang Saseri barengan sama Kang Madari di Warung Mbok Siti.

“Waalaikumussalam, Kang. Monggo ngopi, Kang.” Jawab kang Mukiyi dan Kang Badrun bebarengan. Kompak.

“Libur nariknya, Kang Bad?” tanya Kang Saseri kepada Kang Badrun. Yang dimaksud Kang Saseri yaitu narik becak. Kang Badrun profesinya adalah tukang becak.

Kang Badrun lebih milih libur bekerja, sebab kondisinya hujan lebat. Pikirnya, susah penumpang. Bahkan, nihil. Sedangkan Kang Mukiyi adalah nelayan. Alasan libur kerja pun sama, hujan dan angin kencang. Musim hujan membuat mereka berdua sering libur bekerja. Mau nekad ngontel becak, susah penumpang. Mau nekad berlayar saat hujan dan angin kencang, ya berbahaya.

“Musim nyari duit susah, Kang. Masih ada pagebluk, ditambah musim hujan. Sulit nyari penumpang.” Keluh Kang Badrun.

“Iya betul, Kang. Sama. Meski tidak seperjuangan, tapi kita senasib, Kang.” Kang Mukiyi ikutan berkeluh kesah.

Hujan masih lebat. Obrolan mereka semakin khusyu. Sebab Mbok Siti menghidangkan pisang goreng yang masih mengepul asapnya. Apalagi cangkrukan bertambah personel, Kang Saseri dan Kang Madari.

“Semoga saja para calon di Pilkada ini mendengar jeritan rakyatnya ini. Dengan membagi-bagi amplop kasih sayang atau paket sembako. Kan bentar lagi coblosan.” Kata Kang Mukiyi berharap.

Mendengar harapan yang dilontarkan Kang Mukiyi, Kang Madari malah cekikikan. Kang Mukiyi bingung, merasa bersalah. Sementara Kang Saseri dan Kang Badrun saling menatap. Mereka bingung dengan sikap Kang Madari tiba-tiba cekikikan.

“Kang Madari, ada yang salah dari ucapan Kang Mukiyi?” Kang Badrun bertanya dengan penuh keheranan.

Kang Madari hanya diam, tidak menjawab. Namun, frekuensi cekikikan semakin keras. Kang Badrun semakin bingung, menatap Kang Mukiyi.

“Wooo.. Dasar kurang waras. Orang aneh.” Hardik Kang Mukiyi.

Di kampung, Kang Madari dikenal sebagai orang kurang waras. Sebab sikapnya yang aneh, sering bikin banyak orang kebingungan. Tak jarang, omongan atau sikapnya bikin emosi orang lain terpancing. Tapi, sering juga omongannya bisa menampar, melempar ke kesadaran.

Kang Madari tak merespon hardikan Kang Mukiyi. Ia asyik menikmati pisang goreng mlocot dan kreteknya. Ia terdiam. Tak ada yang bicara satupun. Hening. Masing-masing sibuk dengan kenikmatan tiap seruputan kopi hitamnya.

“Amplop kasih sayang? Maksudnya serangan fajar, gitu, Kang Muk?” tanya Kang Madari memecahkan keheningan.

“Iya, kurang lebih seperti itu lah, Kang Mad.”

“Lantas, sampeyan rela suaramu diobral begitu, Kang Muk? Njuk, bagaimana dengan harga dirimu?”

“Ya gak begitu maksudnya, Kang Mad. Misal, para calon yang memberi ke aku, tak terima semua kok. Biar adil. Masalah aku coblos siapa, kan itu urusanku, Kang Mad.”

Nada ngobrol Kang Mukiyi semakin tinggi. Yang lain hanya bisa melongo saja melihat mereka berdua berdebat. Seperti biasa, Kang Madari hanya cekikikan. Kadang mendesis panjang. Kang Saseri dan Kang Badrun saling pandang.

“intinya, kita semua jangan menerimanya. Itu dilarang.” Tegas Kang Madari dilanjutkan dengan cekikikan keras.

“Kok bisa begitu, Kang Mad?” Kang Saseri memberanikan diri untuk bertanya, sebab penasaran.

“Gini loh, amplop kasih sayang itu kan bertujuan buat mempengaruhi si Penerima agar mencoblos calon pemimpin yang dimaksud si Pemberi. Nah, itu kan sama saja suap-menyuap. Jelas itu hukumnya, haram.” Kang Madari menjelaskan dengan suara khasnya, serak-serak basah. Sambil hisap kreteknya. Hisapan kali ini dalam banget.

“Lho, kan si Pemberi biasanya gak nyuruh nyoblos si calon yang dimaksud. Hanya bilang, ini dikasih si calon yang namanya ini. Sudah gitu aja. Politik uang, suap dari mana, terus dosa dari mana coba?” Timpal Kang Mukiyi dengan nada suara tinggi. Masih bertahan ngeyel.

“Gini, Kang Muk, meskipun tidak bilang nyuruh nyoblos si A, tapi niat utama dari pemberian itu, ya agar kita disuruh nyoblos si A. Apa lagi kalau gak itu niatnya? Di kaidah ushul fiqh dijelaskan al-Umuuru bi maqashidiha, segala perkara itu tergantung niatnya. Jadi, kalau dari awal niat si Pemberi, si A ini adalah biar kita yang diberi ini mau nyoblos si A, maka itu sudah termasuk suap. Meskipun tidak dijelaskan saat amplop itu diberikan. Apa lagi kalau ga niatnya itu? Wong, ini musimnya Pilkada kok. Ya kita sudah tau sendiri lah.”

Kang Madari berusaha menjelaskan dengan nada lembut. Kali ini tidak cekikikan. Kang Badrun dan Kang Saseri mendengarkan dengan fokus, layaknya sedang mendengarkan khutbah Jumat. Sedangkan Kang Mukiyi terbelalak mendengar penjelasan Kang Madari.

Di luar, hujan masih saja lebat, namun angin sudah tidak begitu kencang lagi. Kang Madari menikmati tiap hisapan rokoknya, sedangkan yang lain melahap pisang goreng dan bakwan.

Sambil merubah posisi duduknya, Kang Madari melanjutkan omongannya, “Wong, sudah jelas lah niatnya. Iya memang bagi kita, isi amplop itu bisa kita gunakan buat beli rokok atau apa. Tapi, coba kita renungkan madharatnya, bahayanya. Politik uang itu gerbang dari korupsi. Jadi, kalau calon pemimpin itu menang, kemungkinan besar ia akan berusaha mengembalikan modalnya semasa pencalonannya itu. Kalau dalam kaidah ushul fiqh menyebutkan dar’ul mafashid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih, menolak bahaya itu diutamakan daripada mengambil manfaatnya. Jadi kita lebih utama menolak bahayanya politik uang daripada mengambil manfaatnya. Dan perlu sampeyan mengerti, jangan menahbiskan amplop kasih sayang itu sebagai sedekah. Enak aja. Sekali politik uang, ya politik uang namanya. Sama saja suap. Suap itu si Pemberi dan Penerima sama-sama masuk neraka lho, Kang. Lhaahik!!”

Kang Madari layaknya seperti Khatib sedang mengkhutbahi jamaahnya. Kang Saseri dan Kang Badrun hanya manggut-manggut. Sementara Kang Mukiyi hanya terdiam.

“Politik Uang itu bukan hanya merendahkan demokrasi, tapi juga merendahkan harga diri kita, kalau kita menerimanya. Wong, kita itu berusaha mati-matian menjaga harga diri kita, kok mau-maunya direndahkan dengan amplop kasih sayang yang nominalnya ga seberapa.” Kang Madari cekikikan keras selesai ngomong. Kang Mukiyi masih terdiam, menundukkan kepalanya. Sedangkan, Kang Badrun heran dengan apa yang diucapkan orang yang dikenal warga sebagai orang yang kurang waras, tapi omongannya melempar dirinya menuju kesadaran.

Tiba-tiba Kang Madari beranjak pamit pulang. Selesai membayar totalannya kepada Mbok Siti, Kang Madari berlari-berlari di tengah guyuran hujan yang masih deras sambil berteriak, “Politik uang itu haram.” Gitu terus diulang-ulang, sesekali diselingi tawa yang keras.

Disclaimer: Tulisan ini sudah dimuat dalam Buletin Bawaslu Jawa Tengah Edisi ke 19 Tahun 2021