on
artikel
- Get link
- X
- Other Apps
Hari ini merupakan hari Jum’at. Hari dimana kaum muslimin akan bergegas ke masjid untuk menunaikan salat Jum’at berjamaah. Suara murottal sudah terdengar dari corong masjid. Orang-orang sudah pada mempersiapkan diri. Di sungai sudah dipenuhi anak-anak jeguran, mandi untuk persiapan salat Jum’at. Sedangkan Kang Mukiyi, Saseri, Badrun berdiri di pinggiran sungai, mengawasi anak-anak kecil yang sedang belajar berenang. Suara anak-anak dan gemericik air membuat Jumat siang menjadi riuh di sungai.
| Sumber gambar: Google | 
Di masjid terlihat Kang Tejo dan
Markum merapikan karpet-karpet masjid setelah selesai bersih-bersih lantai
masjid. Mereka berdua adalah marbot masjid. Sedangkan orang-orang kampung mulai
meramaikan masjid. Mereka sudah menunaikan salat tahiyyatul masjid,
sebagian yang lainnya masih mengantre di tempat wudlu.
Tak lama, adzan berkumandang. Pak
RW, Kang Mukiyi, Kang Saseri, dan Kang Badrun berjejeran dalam shaf tepat di
urutan kedua. Sedangkan Kang Madari di urutan barisan paling belakang. Terlihat
dari jamaah mengenakan pakaian bersih. Mereka juga terlihat khusyu dan dengan
khidmat mendengarkan khutbah yang disampaikan sampai selesainya salat.
Selepas salat Jum’at, kekhusyu’an
dan kekhidmahan berpindah ke warung Mbok Sabar. Warung makan yang juga
menyediakan aneka gorengan dan minuman. Terlihat sudah ada Kang Badrun dan Kang
Saseri yang duduk di lincak sambil menikmati pisang goreng dan teh hangat.
Mereka berdua ngobrol seru seolah lupa dengan beban hidupnya, apalagi kalau
bukan cicilan.
“Kok tumben sepi ya, Kang Sas,”
Kang Badrun bertanya. Ia menanyakan teman-temannya yang sering nongkrong bareng
di warung Mbok Sabar.
“Iya, Kang. Mungkin pada
istirahat. Tadi aku lihat Kang Mukiyi baru ngasih makan kambingnya,” jawab Kang
Saseri.
Di sela-sela obrolan, mereka
berdua juga asyik dengan sebatang kreteknya masing-masing. Dan sesekali Mbok
Sabar ikut nimbrung obrolan mereka berdua.
Selang beberapa menit kemudian,
Pak Solekan dan Kang Mukiyi datang. Dan di susul Kang Madari, setelah 10 menit
kedatangan mereka berdua. Sesampai di warung, Kang Madari lekas memesan kopi,
“Yu, kopi satu, ya. Pahit,” lantas ia memilih duduk menyendiri di lincak paling
pojok.
Melihat Kang Madari yang tidak
ikut nimbrung, lebih memilih duduk menyendiri di pojok, Kang Mukiyi dan Pak
Solekan saling pandang. Pak Solekan merupakan ketua RW di kampung.
“Tumben, kesini nya duluan aku,
Kang Muk?” Tanya Kang Badrun memecahkan keheranan atas perilaku Kang Madari.
“Eh, iya, tadi baru nonton tv
sebentar. Nonton berita. Ada berita KPK berhasil OTT,” jawab Kang Mukiyi.
Seperti burung kicau. Dipancing
suara sebentar, disahut dengan banyak omongan. Lantas Kang Mukiyi menceritakan
apa yang telah ditonton dari berita terkait KPK melakukan OTT.
“Emang siapa yang ketangkap KPK,
Kang Muk?” Tanya Kang Saseri yang tidak mengetahui beritanya, karena tv
tabungnya rusak.
“Itu lho, Kang, Bupati
atau Walikota mana itu, aku kok lupa, Kang,” jawab Kang Mukiyi sambil
menengadahkan kepala, mengingat-ingat yang dilupa.
Pak RW, Pak Solekan, dari tadi lebih
memilih diam saja, fokus sama kenikmatan pisang gorengnya Mbok Sabar. Begitu
juga dengan Kang Madari yang berada di pojok, ia lebih menikmati sebatang
rokoknya dan aroma kopi hitamnya.
“Aku kok tidak paham apa yang ada
dipikirannya yang korup itu, bisa-bisanya uang rakyat ditilep,” Kang Saseri
geram mendengar cerita Kang Mukiyi.
Di tengah-tengah obrolan serius,
tiba-tiba terdengar suara cekikikan yang bersumber dari pojok. Ternyata suara
Kang Madari. Kang Badrun sama Kang Saseri saling pandang. Mereka berdua bingung
melihat Kang Madari cekikikan tak jelas gitu. Sedangkan Kang Mukiyi geram
dengan sikap Kang Madari, orang yang dianggap setengah waras di kampungnya itu.
“Monggo disambi dulu
pisang goreng, bakwan, sama kopinya, Kang-Kang,” ajak Pak RW agar perhatian
mereka beralih.
“Nah, aku juga satu server sama
Kang Saseri. Daripada dikorup, mending mbokyaho dibagi-bagi buat bantu
kaum pedagang, seperti aku ini,” Mbok Sabar pun ikut menimpali obrolan di
warungnya. Kemudian disambut dengan tawa ringan.
“Apa yang jadi penyebab para
pemimpin banyak yang berbuat korup, ya? Toh, dari mereka
berlatarbelakang keluarga menengah keatas?” lanjut Mbok Sabar.
“Ya itu, karena mereka tamak.
Pemahaman Agamanya kurang,” gerutu Kang Saseri.
“Itu namanya pemimpin yang tak
memikirkan rakyat,” sambung Kang Mukiyi.
Mendengar obrolan mereka
berempat, obrolan yang nada suaranya kian nyaring, Kang Madari menutup kedua
telinganya dengan kedua tangannya. Mulutnya mendesis. Kadang cekikikan. Cekikikannya
kian kencang.
“Ada apa ini kok tadi kedengarannya
ngobrolin yang serius gitu, Kang?” Tanya Kang Taham yang baru saja datang di
warung Mbok Sabar.
Lantas Kang Saseri menjelaskan
hulu hilirnya obrolan di siang itu. Sedetail mungkin. Kang Taham terlihat
manggut-manggut saja kepalanya. Sedangkan Mbok Sabar bergegas meracik kopi
hitam pesanan Kang Taham. Pak RW, Kang Mukiyi dan Kang Badrun masing-masing
sibuk dengan kenikmatan rokoknya.
Suasana berubah menjadi hening.
Semuanya diam, tak ada yang ngomong. Semuanya sibuk dengan menikmati kopi hitam
dan sebatang rokoknya masing-masing. 
Tiba-tiba Kang Taham memecah
keheningan, “Apa dari semua itu dikarenakan ada andil kita, rakyat?”
“Kita ada salah gitu maksudmu,
kita bagian dari penyebab mereka berbuat korupsi gitu maksudmu?” serobot Kang
Saseri menanggapi pertanyaan Kang Taham. Kang Mukiyi mlongo, kaget.
Sedangkan Kang Badrun dan Pak RW saling menatap.
“Mosok, ya, mereka yang
berulah, kita yang salah juga? Ya ndak bisa kalau gitu,” Kang Badrun
sehati dengan Kang Saseri. Ia juga protes dengan sikap Kang Taham yang dinilai mendiskreditkan
rakyat atas kasus korupsi.
Kang Madari beranjak dari tempat
duduknya, lalu mendekati tempat duduk mereka.
“Memang kalian ada salah,”
Mendengar pernyataan Kang Madari
begitu, Kang Saseri naik pitam. Matanya mendelik. Sedangkan Pak RW dan Kang
Taham menahan Kang Saseri yang hendak memukul Kang Madari. Kang Badrun dan Kang
Mukiyi saling menatap. Mereka berdua bingung. Namun, Kang Madari malah
cekikikan.
Keadaan seketika menjadi hening.
Tak ada seorang pun yang ngomong. Semuanya sibuk menikmati kopi hitam
masing-masing dan sesekali menikmati gorengan yang dipajang Mbok Sabar di meja
warungnya. Sedangkan Kang Madari melamun. Kadang-kadang ia cekikikan.
“Maaf, kalau boleh tahu dari
pernyataan sampeyan, kita ini salah apa ya, Kang Mad?” Kang Mukiyi memecah
keheningan. Ia memberanikan diri untuk bertanya ke Kang Madari.
Kang Madari tak menjawab. Ia diam
sejenak. Selang beberapa menit kemudian, ia membuka bibirnya, terlihat seperti
akan ada yang ia omongkan.
“Siapa yang menjadikan mereka
sebagai pemimpin kita?”
“Ya, mereka kan menang
dalam pemilihan Kepala Daerah. Jadi, yang berhak memimpin, ya, yang menang,
Kang Mad,” Kang Saseri menimpali pertanyaan Kang Madari.
“Manang atas apa, Kang Sas?”
“Ya, mereka menang karena suaranya
terbanyak daripada rivalnya, Kang Mad,”
“Suara siapa emangnya, Kang Sas?”
“Ya, suara kita bagian dari hasil
itu, lah, Kang Mad,”
“Dengan sebab apa waktu dulu kamu
memilih para calon Pemimpin Daerah, Kang Sas?” kali ini terdengar suara Kang
Madari dengan tangga nada tinggi.
“Anu.. Kang Mad, Anu..e,
Kang,” terlihat terbata-bata Kang Saseri menjawab. Ia terlihat seperti orang
kebingungan.
Seketika suasana hening kembali.
Kang Saseri terlihat tak melanjutkan omongannya. Sedangkan Kang Mukiyi dan Kang
Badrun saling pandang. Begitu pun dengan Pak RW dan Kang Taham. Sementara, Kang
Madari terlihat sedang menikmati sebatang rokoknya. Sesekali ia cekikikan.
“Kalau aku sih sebab ada
amplopnya. Calon mana yang ngasih, aku coblos. Begitu kalau aku, tak tahu kalau
Kang Badrun,” celetuk Kang Mukiyi memecah keheningan sembari menyenggol Kang
Badrun yang berada di sebelahnya.
“Lho, kok a...ku?” Kang
Badrun menimpali dengan suara terbata-bata.
Kang Madari masih terdiam. Tak
ada respons dari bibirnya. Ia masih melamun, duduknya menghadap ke arah barat,
membelakangi orang-orang. Terkadang ia cekikikan. Sikap aneh seperti itulah
yang membuat warga setempat ngarani Kang Madari orang kurang waras. Tapi
ajaibnya, terkadang apa yang ia omongkan banyak terkandung ibrah yang
tak terduga.
“Mosok, ya mau suaranya
dibeli. Dengan alasan apapun, hak suara rakyat dalam pesta demokrasi itu not
for sale. Namanya pesta, ya harus bebas, tak boleh ada intervensi oleh
siapa pun. Apalagi dengan diiming-imingi uang berbungkus amplop putih, yang
jumlahnya tak seberapa. Astaghfirullah.. Astaghfirullah.. Maafkan aku ya
Allah. Maafkan aku, negeriku..” Bibir Kang Madari dermimil tak karuan.
Dengan posisi duduk membelakangi orang-orang, tak jelas ocehan itu ditujukan ke
siapa.
“Benar juga ya, apa yang
diomongkan Kang Madari,” gumam Kang Taham.
Kang Badrun dan Kang Mukiyi
saling pandang. Di raut wajahnya nampak seperti orang menyesal. Sedangkan Pak
RW cuma manggut-manggut. Menurutnya, apa yang diomongkan Kang Madari ada
benarnya.
“Sampeyan nyindir aku ya,
Kang Mad? Aku itu dikasih, tidak meminta. Ya, sayang kalau ditolak. Kan,
lumayan bisa buat beli sebungkus rokok dan secangkir kopinya Mbok Sabar,” Kang Saseri
menimpali ocehan yang keluar dari bibir Kang Madari.
Kang Madari tak langsung
merespon. Ia menghisap dalam-dalam kretek yang dipegangnya, lalu putar badan ke
arah Kang Saseri.
“Jadi segitu nominal harga
dirinya sampeyan, Kang Sas?” disusul dengan cekikian keras.
Dengan mata terbelalak, Kang
Saseri tak terima dengan stigma Kang Madari. “Maksudnya sampeyan gimana,
Kang Mad?”
“Ya ndak gimana-gimana.
Tadi katamu kan dikasih amplop untuk mencoblos si calon pemimpin. Begitu
kan, Kang Sas?” 
“Tapi yang ngasih amplop itu
tidak bilang disuruh nyoblos si calon itu, Kang Mad,”
“Terus waktu nyoblos, Kang Saseri
coblos si calon itu, kan?”
“Hemmm.. i...ya, Kang. Nganu...”
Kali kedua Kang Saseri terbata-bata menjawab pertanyaan Kang Madari.
Kang Madari terdiam sejenak.
Karena ia segera merespon lagi. Kali ini tidak cekikian.
“Yang namanya pesta demokrasi itu
ya bebas. Bebas dari intervensi. Apalagi dengan diiming-imingi uang yang tak
begitu banyak nominalnya. Bayangkan, jika nominal tersebut dikalkulasi, per
tahunnya seberapa harga diri kita sebagai rakyat?”
Kang Taham, Kang Mukiyi, dan Kang
Badrun hanya mlongo mendengarkan omongan Kang Madari layaknya mendengarkan
khutbah Jumat. Sementara Pak RW manggut-manggut, tak menyangka apa yang
diomongkan Kang Madari barusan. Semuanya terdiam. Tak ada satu pun yang
menjawab pertanyaan Kang Madari.
Sebatang rokok yang di tangan
dihisap dalam-dalam, lalu Kang Madari melanjutkan agitasinya.
“Bagi-bagi uang atau yang biasa
kita sebut serangan fajar itu tujuannya tak lain adalah mempengaruhi masyarakat
agar memilih si calon yang dimaksud. Dan, ngasih uang itu mustahil kalau
cuma-cuma. Mereka itu, kalau sudah jadi, ya berpeluang untuk mengembalikan
dengan cepat modal semasa pencalonan. Bahkan, lebih dari nominal modalnya.
Dengan cara apa? Ya bermacam-macam. Salah satunya, ya korupsi itu,”
Sembari merapikan pecinya yang
miring, dan mengubah posisi duduknya, Kang Madari melanjutkan omongannya. “Bisa
dibayangkan berapa total kerugian negara kita tercinta ini kalau ada pemimpin
kita yang korupsi? Terus rakyat, seperti kita ini yang kena imbas dari
perbuatan itu. Sebab, yang diambil itu uang rakyat, yang urgensinya ya buat
rakyat. Sampeyan ndak mau kah dipimpin orang-orang yang berkompeten, jujur?”
Terlihat Kang Madari seperti
orator yang berapi-berapi. Mendengar pertanyaan yang dilontarkan Kang Madari,
semuanya kompak menggelengkan kepala tanpa bersuara. Kecuali Kang Saseri.
“Iya jelas ndak mau lah
punya pemimpin yang korup. Pengennya ya punya pemimpin yang amanah, jujur, dan
bersih, Kang Mad,”
“Sampeyan ini seperti orang yang
pengen kurus tapi ogah diet, Kang Sas,”
Semuanya terbahak. Kang Madari
cuma cekikan. Sementara Kang Saseri tak paham yang dimaksud Kang Madari.
“Maksudnya gimana ya, Kang Mad?”
“Gini lho, Kang Sas, sampeyan kan
ingin punya pemimpin yang jujur dan bersih, tapi waktu pencalonannya, kamu mau
disogok untuk memilihnya. Kalau ingin yang bersih, ya tolak saja iming-iming
uang, serangan fajar itu. Jadi pemilih yang bersih. Jadi intinya, pilihlah
calon pemimpin yang berkompeten. Pilih lah calon yang memiliki integritas
tinggi, bukan yang memberi uang banyak. Sehingga, pemilihan bisa kompetitif dan
kondusif dan melahirkan pemimpin yang demokratis. Itulah bagian dari jihad kita
sebagai rakyat untuk menolak politik uang, yang merupakan gerbang dari
permasalahan korupsi. Jadi, jangan seperti orang yang ingin kurus, tapi ogah
diet.” 
Semuanya manggut-manggut. Kang
Saseri terlihat seperti orang malu dan menyesal. Selanjutnya, mereka semua
kembali menyantap gorangan dan kopi masing-masing. Sementara Kang Madari dan
Kang Taham pamit pulang lebih dulu. 
“Semuanya, aku pamit pulang dulu,
ya,” ucap Kang Taham sembari menyalami orang-orang.
Sepuluh menit kemudian, adzan
Ashar berkumandang dari corong musalla. Semuanya bergegas totalan ke Mbok Sabar
dan membubarkan diri pulang ke rumah masing-masing untuk segera menuju ke
masjid.
Karya: Azam Whell.
Demak, 13 Oktober 2021