(Cerpen) Gusti Allah Kok didikte?


Gusti Allah kok didikte

Oleh Azam Whell Cilik.

Setelah Jum’at lalu digegerkan dengan ulah Kang Madari yang membuat halaman masjid penuh dengan orang-orang kampung, Jum’at kali ini agak sepi. Tidak seheboh Jum’at lalu. Namun, seusai jamaah sholat jum’at terjadi perdebatan kecil antar-marbot di masjid al-Falah. Pada saat menghitung jumlah shadaqah jamaah shalat jum’at, terlihat Kang Badrun, Kang Jumali, Kang Saseri dan Kang Mukiyi sedang berdebat. Ketiga orang tersebut adalah marbot, sedangkan Kang Mukiyi adalah takmir masjid selaku bendahara.

Perdebatan mereka berawal dari pembahasan shadaqah masjid pada saat shalat jumat pada waktu itu. Kang Badrun mulai membuka omongan, “Kang Saseri, jadi orang kaya enak ya, bisa sedekah terus. Saat jamaah jumat gini diumumkan namanya. Ya seperti Pak Rosidi itu, orangnya kaya, yang tiap kali hari jumat namanya sering disebut sebab sedekahnya.”

Pak Rosidi yang dimaksud Kang Badrun adalah ketua RW di Kampungnya Kang Badrun. Ia adalah seorang saudagar kaya di kampungnya, memiliki perusahaan besar dan memang terkenal dermawan, sering nyumbang hartanya di masjid dan bersedekah ke fakir miskin.

“Iya, Kang, enaknya orang kaya ya gitu. Pengen sedekah, bisa. Pengen ngasih sumbangan ke yang membutuhkan, bisa. Aku ya pengen seperti itu juga. Tapi apa daya, buat nyukupi kebutuhan keluarga saja pas-pasan.” Jawab Kang Saseri sambil masih menghitung uang shodaqoh jamaah jumat.

“Kita senasib seperjuangan ya, Kang. Aku juga kadang ya pengen banget bisa ngasih shodaqoh. Tapi ya sama seperti dirimu, Kang Saseri.” Jawab Kang Badrun lagi. Mereka bersahut-sahutan.

Sementara Kang Mukiyi mulai angkat bicara, “Makanya beribadah, berdoa dan berusaha yang rajin.”
Kang Badrun dan Kang Saseri keduanya adalah marbot masjid. Sedangkan kesehariannya adalah sama-sama berdagang di pasar tradisional dekat rumahnya. Kang Badrun jualan sayuran, sedangkan Kang Saseri jualan plastik. Mereka berdua memang tidak miskin, kurang kaya. Lebih tepatnya sederhana. Penghasilan dari berdagang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Mendengar jawaban Kang Mukiyi, Kang Badrun tak mau hanya diam begitu saja, “Apa kurang rajinnya kita dalam menjalankan beribadah kepada Gusti Allah? Kita tiap hari pergi ke masjid untuk menjalankan ibadah kepada-Nya, juga tiap hari kita berdagang, mencari rizki.”

Sambil membenarkan pecinya yang agak miring, Kang Saseri sependapat dengan apa yang katakan Kang Badrun, “Iya betul apa yang dikatakan Kang Badrun. Kita sudah berusaha dan berdoa. Tapi kenapa hidup masih pas-pasan. Kita juga pengen kaya, bisa bersedekah.”

Kang Jumali yang sedari tadi hanya diam, manggut-manggut saja, kini ia tertarik ikut nimbrung, “Gini loh Kang Bad, Kang Sas, memang dalam menjalani hidup ini harus ada usaha dan doa. Agar untuk memperkuat keduanya, Kita bisa perkuat dengan tirakat. Contohnya sholat dhuha, tahajud, baca surah al waqiah atau al mulk. Gitu, Kang.”

Kang Jumali berusaha menenangkan kedua kawannya dengan nasehatnya. Suara khasnya yang lembut dari Kang Jumali terdengar sampai telinga Kang Madari yang dari tadi telentang di bawah kenthongan masjid. Suara perdebatan mereka berempat yang dari tadi ternyata sedikit mengusik Kang Madari.

“Ada apa toh, Kang? Dari tadi kok ribut mulu. Kalau ribut jangan di masjid.” Kang Madari mengingatkan mereka berempat. Dan sebab penasaran dengan apa yang dibahas, Kang Madari mendekat ke arah mereka berempat.

“Ini loh, Kang Mad, Kang Badrun dan Kang Saseri agaknya iri dengan Pak Rosidi yang rajin bersedekah di masjid. Mereka berdua ingin seperti Pak Rosidi yang bisa sering bersedekah. Gitu, Kang Mad.” Kang Mukiyi memberitahu ke Kang Madari awal dari permasalahan yang dibahas.
Kang Madari hanya manggut-manggut, “Oh ya bagus itu, Kang.”

“Loh, kok bagus dari mana, Kang Madari?” Tanya Kang Saseri sedikit kesal terhadap tanggapan Kang Madari.

“Loh, itu kan termasuk iri dalam hal kebaikan, termasuk fastabiqul khairat, Kang.”

“Fastabiqul khairat itu kalau saya dan Kang Badrun sama-sama bisa bersedekah seperti Pak Rosidi.” Kang Saseri nyerocos.

“Lantas?” Tanya Kang Madari dengan singkat.

“Gini loh, Kang Madari, Saya dan Kang Saseri itu sebenarnya kagum sama orang-orang kaya yang sering bersedekah, nah, kita juga ingin seperti mereka. Ingin seperti Pak Rosidi yang sering bersedekah untuk masjid, fakir miskin juga. Namun, masalahnya hidup kita secara materi itu pas-pasan. Alih-alih buat sedekah. Buat makan dan jajan anak saja mripit.” Kang Badrun mencoba menjelaskan keluh kesahnya ke Kang Madari.

Mendengar apa yang telah dijelaskan Kang Badrun, Kang Madari hanya cekikikan, arah matanya menatap ke atas seperti sedang mikir. Tangan kanannya ngusap-ngusap jenggot tipisnya. Terdengar semakin keras ia cekikikan. Melihat tingkah Kang Madari yang dinilai aneh, Kang Badrun bingung. Mengatai Kang Madari orang kurang waras.

Sementara Kang Jumali yang dari tadi banyak diamnya, kini memberanikan bertanya ke Kang Madari, “Kang Madari kok malah cekikikan mendengar keluhan Kang Badrun dan Kang Saseri, kenapa Kang Mad, ada yang aneh?”

Kang Madari masih cekikikan. Lalu, diam sebentar. Sementara Kang Badrun, Kang Saseri, Kang Jumali dan Kang Mukiyi tolah-toleh kebingungan. Tak lama kemudian bibir Kang Madari bersuara, “Orang kaya bersedekah itu sudah biasa. Orang kaya menyumbangkan harta ke fakir miskin itu sudah tugasnya. Mau bersedekah saja nunggu kaya, banyak uang. Gimana kalau seumur hidupnya tidak kaya? Kapan sedekahnya?”

Mendengar Kang Madari ngomong layaknya Pak Kiai sedang memberikan khutbah kepada jamaah, Kang Badrun dan Kang Saseri hanya bisa mlongo. Mereka berdua tertampar dengan perkataan Kang Madari. Sementara Kang Jumali dan Kang Mukiyi manggut-manggut saja. Tak menyangka bahwa orang yang dianggap kurang waras di kampung bisa mengatakan begitu.

“Apa yang dikatakan Kang Madari ada benarnya. Tapi gini, Kang Mad, yang dikeluhkan Kang Badrun sama Kang Saseri bukan hanya tak bisa sedekah. Anu, maksudnya Kang Badrun sama Kang Saseri itu mengeluh sebab ia merasa galau.” Kang Jumali mencoba memancing. Ia masih penasaran dengan seorang Kang Madari yang dikenal kurang waras, namun apa yang dikatakan bisa melemparkan pikiran ke permukaan yang benar.

“Galau gimana itu maksudnya, Kang?” Tanya Kang Madari sembari menyalakan rokok kreteknya.
Kang Badrun sedikit tersadar sebab omongan Kang Madari tadi dan ia masih merasa belum terpuaskan jawaban Kang Madari. Ia mencoba menjelaskan semuanya kepada Kang Madari. Ia setengah tak yakin kalau Kang Madari bisa menjawab atas kegelisahan dirinya. Inti penjelasannya adalah Kang Badrun merasa kecewa sebab ia telah ibadah dengan rajin, berdagang dengan semangat, menjalankan amalan-amalan yang (dipercaya) mengandung fadhilah melancarkan rizki. Tapi realitanya, rizki, hasil dagangan yang ia peroleh begitu-begitu saja, dibuat kebutuhan sehari-hari saja pas-pasan.

“Berdoa sama Gusti Allah. Biar lancar.” Kang Madari memberi solusi singkat.

“Sudah, Kang Mad. Berdoa terus.” Jawab Kang Badrun dan Kang Saseri bebarengan.

“Bagus. Terus berdoa kepada Gusti Allah itu lebih bagus.” Jawaban Kang Madari membuat Kang Badrun dan Kang Saseri saling berpandangan. Kang Madari melanjutkan omongannya, “Lantas apa yang kamu tuntut?” Tanya Kang Madari.

Pertanyaan Kang Madari disela oleh Kang Mukiyi, mencoba turut urun dalam memberi solusi, “Sholat dhuha sebelum pergi bekerja, Kang Badrun. Rizki akan dilancarkan.”

“Tiap hari, sebelum pergi buka toko, selalu sholat dhuha dulu. Sholat tahajud ya tak pernah absen. Baca surah al-Waqiah tiap habis maghrib, ya tak pernah kulupakan. Gitu ya masih biasa-biasa aja. Pas-pasan.” Jawab Kang Badrun dengan wajah seperti orang putus asa. Sementara Kang Madari mendengarkan dengan menikmati klepas-klepus rokoknya. Kadang cekikikan. Melihat sikap Kang Madari yang sering cekikikan, Kang Badrun menganggapnya kurang waras.

Setelah tak terdengar cekikikan, Kang Madari mulai besuara, “Lantas, kamu mau protes gitu sama Gusti Allah?”

Mendengar pertanyaan Kang Madari begitu, Kang Saseri hanya bisa melongo, sedangkan Kang Badrun menjawab dengan gugup dan sedikit terbata-bata, “Anu, Kang Mad, maksudnya itu begini, saya kan sudah rajin bekerja, sholat jamaah ya sering ikut di masjid wong saya sendiri marbotnya. Sholat dhuha, tahajud ya tak pernah ketinggalan. Tapi rizki, pendapatan saya kok masih begitu-begitu saja, Kang Mad.”

“Sabar Kang Badrun, Kang Saseri. Gusti Allah itu tidak Cuma ngurus dhapurmu saja. Jadi, tetap semangat dan teruslah berdoa kepada-Nya.” Kang Madari memberikan motivasi layaknya Sang Motivator berceramah di depan hadirin.

Kang Saseri hanya manggut-manggut, sementara Kang Badrun menggerutu, “Sebab itu saya berdoa agar diberi banyak rizki. Lah, kok masih saja sama, tak ada perubahan. Padahal dalam firman-Nya, barangsiapa yang berdoa kepada-Nya, niscaya akan dikabulkan-Nya.”

Kali ini Kang Madari tidak cekikikan, ia menikmati klepas-klepus rokoknya. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Semuanya terdiam. Hening. Tiba-tiba bibir Kang Madari bersuara, “Lantas, sebab itu kamu mau protes sama Gusti Allah, Kang Badrun?”

Mendengar pertanyaan Kang Madari dengan nada tinggi, Kang Badrun kaget, “Iya, bukan begitu maksudnya. Saya merasa bingung saja, Kang Mad, yang intinya saya sudah berusaha dan beribadah dengan sepenuhnya, tapi kondisi rizki saya masih begitu-begitu saja. Seolah ibadah, usaha dan doa saya sia-sia di sisi-Nya.”

Kang Madari mulai menyalakan rokoknya lagi, “Begini loh, Kang Badrun, masalah rizki itu sudah diatur oleh Gusti Allah. Kalau kita terus-terusan sibuk ngurus yang bukan wewenang kita, nanti resikonya rohani, keimanan kita terganggu, membuat kita jatuh ke dalam keraguan kepada-Nya, yang akhirnya membuat kita kufur. Janji-janji Gusti Allah di dalam firman-Nya itu sudah pasti nyata. Untuk memenuhi, mengabulkan janji-janji kepada hamba-Nya itu sudah ditentukan oleh-Nya. Bisa saja sekarang, besok, tahun depan bahkan di akhirat kelak. Itu sudah menjadi kemahakuasaan-Nya. Kita sebagai hamba-Nya wajib mengimani. Lantas, apakah pantas kita sebagai hamba-Nya memaksa untuk sesuai permintaan, hajat kita, melalui ibadah-ibadah kita kepada-Nya? Pantaskah kita mendikte Gusti Allah, Tuhan yang kita sembah untuk mengabulkan doa sesuai kemauan kita? Emangnya kita itu siapa kok beraninya memaksa, mendikte Gusti Allah?”

Mendengar jawaban Kang, Madari mereka berempat menundukkan kepala, Kang Saseri manggut-manggut. Mereka berempat seperti mendengarkan Pak Kiai sedang khutbah. Kang Mukiyi tak menyangka Kang Madari, seorang yang dianggap orang-orang kurang waras bisa ngomong seperti itu. Sedangkan Kang Madari dengan santainya menikmati tiap hisapan rokoknya, sesekali asap rokoknya dibuat main olehnya, dibentuk blunder.

Mengubah posisi duduknya, Kang Madari melanjutkan omongannya, “Gusti Allah memerintahkan kita untuk sholat, ya sholat saja. Memerintahkan kita untuk bekerja, ya bekerja saja. Memerintahkan untuk berdoa, ya berdoa saja. Sedangkan untuk ganjaran, buah dari ibadah, usaha dan doa kita itu bagian dari kemahakuasaan-Nya dan sebab karunia-Nya. Toh, kita bisa sholat, bisa bekerja, beribadah kepada-Nya merupakan bentuk karunia-Nya. Terus, apakah pantas jika kita sudah dikasih karunia-Nya, kemudian masih memaksa Gusti Allah untuk mengabulkan ini-itu via amalan, ibadah kita kepada-Nya sesuai keinginan kita?”

Kang Badrun semakin menundukkan kepalanya. Ia merasa dirinya bersalah kepada-Nya. Kang Mukiyi dan Kang Saseri saling berpandangan. Dan Kang Jumali mlongo, ia kagum dengan penjelasan Kang Madari. Setelah dirasa selesai, Kang Madari pamit meninggalkan mereka berempat.

(Cerita diinspirasi dari tulisan "Yang Mutlak Tak Mungkin Digusur Yang Relatif" dalam buku Berislam dengan Akal Sehat, karya Edi AH Iyubenu).